Ramah sebagai Jalan Santri: Menapaki Adab, Jihad, dan Ukhuwah

Bagi banyak orang, keramahan sering dianggap sebagai sikap permukaan—tersenyum, tidak membentak atau berteriak, dan menjaga sopan santun. Namun di lingkungan pesantren, konsep keramahan tidak cukup jika hanya dipahami secara pasif. Pesantren bukan hanya tempat belajar kitab dan mengaji, tapi juga ruang pembentukan karakter. Di sinilah keramahan perlu dimaknai sebagai tindakan aktif yang melekat dalam akhlak santri.

Di balik tembok-tebal pesantren yang kadang tampak sunyi, berlangsung dinamika relasi antarindividu yang kompleks: antara santri dan kiai, antar-santri, hingga antara pesantren dan masyarakat. Dalam dunia tersebut, keramahan bukan hanya basa-basi. Ia adalah amal. Ia adalah jihad kecil yang setiap hari digerakkan oleh niat baik, disirami kesabaran, dan dibentuk oleh kebaikan yang terus dirawat.

Tujuan artikel ini adalah mengeksplorasi bagaimana keramahan sebagai tindakan aktif hidup dalam keseharian santri. Tulisan ini merujuk pada pemikiran Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, Desmond Tutu dalam No Future Without Forgiveness, serta tradisi adab pesantren yang diteladankan para kiai. Dengan pendekatan ini, kita akan melihat bahwa keramahan bukan sekadar etiket sosial, tetapi bagian dari jalan ruhani seorang santri.

Keramahan sebagai Wujud Adab: Menjalin Ukhuwah dalam Tradisi Pesantren

Dalam khazanah pesantren, keramahan bukan sekadar sopan santun lahiriah, melainkan cermin dari adab yang bersumber dari hati yang bersih dan niat yang ikhlas. Adab ini menjadi pengikat kuat dalam bangunan ukhuwah antara santri dan kiai, antar sesama santri, serta antara pesantren dan masyarakat. Sebagaimana diajarkan para masyayikh, adab lebih tinggi dari ilmu, karena ilmu tanpa adab akan menjerumuskan, sementara adab akan mengangkat derajat seseorang meskipun ilmunya belum sempurna.

Ketika seorang santri mencium tangan kiai bukan karena formalitas, tetapi sebagai bentuk ta’dzim (penghormatan), maka di situlah ruh adab hadir. Ketika santri junior membantu seniornya dengan tulus, bukan karena takut, melainkan karena memuliakan yang lebih dahulu menuntut ilmu, maka itulah buah dari pendidikan akhlak pesantren yang mengakar.

Dalam kehidupan pondok, perjumpaan antarindividu bukan sekadar kebetulan ruang dan waktu. Tetapi adalah kesempatan spiritual untuk menumbuhkan kasih sayang (mahabbah), saling menghargai (ihtiram), dan belajar memanusiakan sesama. Hidup yang bermakna di pesantren bukan hanya ketika khatam kitab, tetapi ketika seorang santri mampu menjalin hubungan dengan sesama secara tulus, lembut, dan penuh adab — baik kepada guru, teman, maupun masyarakat saat khidmah atau bakti sosial.

Al-Ghazali dan Akhlak Ramah sebagai Amal Harian

Imam al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin menjadikan adab sebagai fondasi dari ibadah dan ilmu. Dalam Kitab Adab al-Mu’asyarah, beliau menjelaskan bahwa akhlak mulia bukan hanya pelengkap, tapi inti dari seorang pencari ilmu.

Di pesantren, konsep husn al-khuluq (akhlak yang baik) bukan teori. Ia menjadi amal harian: bagaimana antri di kamar mandi tanpa ribut, bagaimana bersabar saat giliran makan habis duluan, atau bagaimana menegur teman yang malas ngaji dengan lembut, tanpa merendahkan.

Al-Ghazali menulis: “Orang yang akhlaknya mulia adalah orang yang dadanya lapang, hatinya penuh kasih, dan tutur katanya menenangkan.” Dalam konteks pesantren, ini berarti: sabar menghadapi keributan di kamar, lapang dada menerima kritik ustaz, dan tetap tersenyum meski disuruh piket dua kali.

Lebih jauh, al-Ghazali menjelaskan bahwa menjadi ramah kepada orang yang menyakiti adalah bentuk mujahadah. Maka, saat santri tidak membalas cemoohan temannya, tapi justru mendoakan, di situlah ruh tasawuf bekerja. Keramahan bukan kelemahan, tapi kekuatan batin yang dibentuk dari latihan panjang.

Keramahan dalam Konflik dan Rekonsiliasi: Pesan dari Desmond Tutu

Uskup Desmond Tutu, pejuang keadilan dari Afrika Selatan, mengajarkan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi adalah bentuk keramahan yang paling tinggi. Di pesantren, tidak jarang terjadi konflik kecil: rebutan ember, tersinggung karena sindiran, atau perasaan iri antarangkatan.

Namun, Tutu menulis: “Forgiveness is not forgetting. It is remembering and letting go of the pain.” Dalam konteks ini, memaafkan teman sekamar yang pernah menyebalkan adalah bentuk kematangan. Keramahan yang ditunjukkan setelah konflik bukan kepura-puraan, tapi hasil dari proses spiritual.

Pesantren menjadi tempat belajar hidup bersama dalam perbedaan. Santri datang dari latar belakang keluarga, budaya, bahkan bahasa yang berbeda. Di sinilah ramah menjadi strategi hidup bersama. Ia menjadi medium untuk menjaga harmoni, menyembuhkan luka, dan membangun ukhuwah.

Keramahan sebagai Dakwah Diam

Dalam banyak kisah para kiai NU, keramahan adalah jalan dakwah yang sunyi tapi dalam. KH Ali Maksum dikenal tidak suka marah-marah, tapi kata-katanya menyentuh. KH Sahal Mahfudz menyampaikan fiqih dengan wajah lembut dan nada tenang. Gus Mus menulis, “Sopan itu menang.” Semua menunjukkan bahwa keramahan bisa menjadi sarana menyampaikan kebenaran tanpa menyakiti.

Di tengah masyarakat, keramahan santri saat membantu warga, mengajar ngaji anak-anak, atau sekadar menyapa sopan di jalan adalah bentuk dakwah yang efektif. Ia tidak perlu mikrofon, cukup adab.

Sebagaimana dawuh KH Hasyim Asy’ari dalam Adabul ‘Alim wal Muta’allim, akhlak baik adalah bagian dari ilmu itu sendiri. Maka menjadi ramah bukan sekadar alat komunikasi, tapi bagian dari tugas keulamaan.

Menggugat Pandangan “Santri Baik Itu yang Nurut”

Seringkali, keramahan di pesantren disalahpahami sebagai kepatuhan pasif. Santri yang ramah dianggap yang tidak banyak protes, tidak menegur, dan selalu setuju. Padahal, keramahan aktif justru menuntut keberanian moral: menegur teman yang mencuri air wudhu, mengingatkan adik kelas untuk shalat, atau menyampaikan kritik dengan adab.

Menjadi ramah bukan berarti membiarkan yang salah. Ramah adalah keberanian untuk menyampaikan kebenaran dengan kelembutan. Ini sejalan dengan dawuh para kiai: “Al-haqq bila adab yufsid, wal-adab bila haqq la yufid.” (Kebenaran tanpa adab akan merusak, dan adab tanpa kebenaran tidak memberi manfaat.)

Maka, keramahan yang sejati di pesantren adalah harmoni antara akhlak dan amar ma’ruf. Santri yang ramah bukan yang pasrah, tapi yang berani menyuarakan kebenaran dengan santun.

Keramahan Digital Santri: Menjaga Etika di Dunia Maya

Kini banyak pesantren membuka akses digital bagi santri, baik untuk dakwah, literasi, atau komunikasi. Namun, dunia maya juga membawa tantangan: komentar kasar, debat kusir, hingga hoaks yang cepat menyebar.

Santri di era digital perlu menjadi agen keramahan. Tidak semua perbedaan pendapat harus dibalas dengan sindiran. Tidak semua kabar harus dibagikan tanpa tabayyun. Menjaga adab digital adalah bagian dari tugas santri zaman ini.

Menjadi ramah di media sosial berarti memilih untuk bersikap baik meskipun bisa membalas dengan kasar. Itu bentuk jihad. Komentar santun, klarifikasi lembut, atau bahkan diam di saat gaduh—semuanya adalah pilihan aktif yang menjaga marwah pesantren.

Latihan Ramah dalam Kehidupan Santri

Keramahan sebagai tindakan aktif tidak muncul dengan sendirinya. Ia perlu dilatih setiap hari. Di pesantren, banyak momen kecil yang bisa menjadi sarana pelatihan akhlak ini:

  1. Mendengar dengan Tulus: Saat teman curhat, dengarkan dengan hati, bukan sekadar formalitas.
  2. Mengelola Ucapan: Hindari kata-kata kasar meski sedang kesal. Latih diri menyampaikan kritik tanpa menyakiti.
  3. Bahasa Tubuh yang Terbuka: Sapaan tulus, anggukan, dan senyum adalah bagian dari adab santri.
  4. Menahan Diri dari Reaksi Cepat: Belajar tidak buru-buru membalas, tapi merenung dulu, bahkan dalam perdebatan.
  5. Kebaikan Kecil yang Konsisten: Membantu teman bersih-bersih tanpa diminta, memberi tempat duduk di masjid, atau membantu Bapak/Ibu Guru mempersiapkan kelas.
  6. Mendoakan Teman secara Diam-diam: Saat melihat teman sedang sedih atau menghadapi ujian, kirimkan doa dalam hati. Keramahan juga bisa hadir tanpa suara, tapi membawa keberkahan.
  7. Memaafkan Diri Sendiri: Santri juga perlu belajar ramah pada dirinya sendiri. Jangan terlalu keras jika melakukan kesalahan. Evaluasi diri dengan tenang adalah bagian dari perjalanan ruhani.

Latihan ini bukan sekadar etiket, tapi jalan ruhani yang menumbuhkan jiwa yang tenang (nafs al-muthma’innah). Ia menjadikan santri tidak hanya pintar kitab, tapi juga tangguh secara batin dan sosial.

Keramahan dalam Menjaga Waktu dan Ruang

Dalam khazanah pesantren, keramahan juga tercermin dalam cara santri menghargai waktu dan ruang. Menjaga kebersihan kamar, tidak mengganggu teman yang sedang belajar, serta mendahulukan yang tua dalam antrean, semua itu adalah bentuk konkret dari adab yang ramah. Nilai-nilai kecil seperti ini, meski tampak remeh, membentuk budaya yang menyenangkan dan saling menghormati.

Ramah sebagai Jalan Keulamaan

Di pesantren, tujuan akhir bukan hanya menjadi tahu, tapi menjadi alim yang berakhlak. Karamah sejati bukan pada mimpi atau karomah, tetapi pada kemampuan menjaga lisan, bersikap lembut, dan tetap waras dalam konflik. Dan semua itu dimulai dari satu kata sederhana: ramah.

Keramahan di pesantren adalah bentuk konkret dari maqashid tarbiyah: membentuk manusia yang mencintai, bukan membenci; yang membangun, bukan menjatuhkan. Ia adalah kekuatan halus yang merekatkan komunitas, mendidik jiwa, dan menghubungkan ilmu dengan amal.

Dengan merujuk pada al-Ghazali, Desmond Tutu, dan para masyayikh pesantren—dan dengan merasainya dalam kehidupan pondok—kita memahami bahwa menjadi ramah adalah tugas berat, tapi mulia. Ia bukan hanya tugas sosial, tapi amanah spiritual. Maka, marilah kita hidup dengan ramah: karena di situlah akhlak bermula, dan di situlah ulama dibentuk.

Referensi:

  1. Al-Ghazali, Abu Hamid. Ihya Ulumuddin. Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
  2. Tutu, Desmond. No Future Without Forgiveness. Image Books, 2000.
  3. KH Hasyim Asy’ari. Adabul ‘Alim wal Muta’allim.
  4. KH Sahal Mahfudz. Nuansa Fiqih Sosial. LKiS, 2001.
  5. Gus Mus. Tadarus Puisi, dan kutipan media sosialnya.

Oleh : Shifa Tri Andani, S.S

Dalam rangka kegiatan Nasima Education Scholarship (NES), English Capacity Building di Pare, Kediri (07/25)

4 Comments

  1. Semoga MTS SW benar benar bisa menjadi madrasah terbaik bagi anak anak…menjadikan pribadi yang religius dan cerdas, cendekia serta menjunjung tinggi Akhlakul karimah

Leave a Reply to MudjiyantiCancel Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *